Rabu, 05 Mei 2010

Dokter versus Kancil

Siapa tak kenal Kancil? Tokoh yang menurut saya tak jelas karakternya ini (antagonis atau protagonis?) demikian lekat dengan kenangan masa kecil kita. Entah hadir dalam memori kita melalui text book sekolah dasar ataupun lewat cerita pengantar tidur.

Saya termasuk yang merasakan kedua-duanya. Dan ceritanya selalu di awali dengan kata-kata yang sama: ”Pada suatu hari….”, atau versi nenek saya; ”Sak wijining dina…”.

Namun sadarkah kita, makhluk berkaki empat yang ukurannya tak lebih dari seekor anak kambing ini ternyata ikut bertanggung jawab atas kemunduran bangsa ini! Setidaknya itu menurut seorang guru sekolah menengah saya. Kisah pencuri timun yang selalu lolos berkat kelicikannya ini beliau anggap telah meracuni kepribadian manusia di negeri ini sejak dini. Jika menggunakan hipotesis beliau, korupsi yang marak saat ini adalah ulah si Kancil juga!

Ya, barangkali beliaulah pengkritik kancil pertama (dan satu-satunya?) di negeri ini. Tapi ada satu hal yang para pakar manajemen dan pemasaran mungkin akan sepakat dengan beliau. Tentang kekuatan cerita.

Pakar perilaku organisasi dan entrepreneurship, Chip Heath dan Dan Heath, dalam buku Made To Stick: Why Some Ideas Survive and Others Die menjelaskan beberapa formula rahasia yang menjadikan sebuah ide memiliki “daya lengket” tinggi dalam benak seseorang. Salah satu rahasianya adalah dengan mengemas ide tersebut dalam bentuk cerita.

Seorang Saudara begitu menaruh minat pada bidang pemerintahan. Kecintaan ini tumbuh karena sang kakek seringkali mendendangkan kisah-kisah mengenai heroisme tentara semasa ia kecil. Dan kini, ia telah menjadi peneliti muda di bidang administrasi negara. Pesan sang kakek melekat erat dalam ingatannya dalam bentuk cerita-cerita.

Kekuatan cerita ternyata tak hanya sebatas pada individu belaka. Sebagian perusahaan sengaja mengembangkan cerita yang membentuk budaya positif di dalam organisasinya. Kisah keuletan Soichiro Honda, pendiri Honda, menjadi inspirasi tersendiri bagi karyawan perusahaan ini.

Lalu apa relevansinya bagi para praktisi kesehatan seperti kita?

Dalam menjalankan pengabdiannya, seorang dokter seringkali harus meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita-cerita dari sang pasien seputar penyakitnya. Sebagian mungkin cerita sedih tentang rasa takut dan kekhawatiran. Namun tak sedikit juga cerita tentang kesabaran dan keteguhan seorang pasien dalam menghadapi penyakitnya. Atau bahkan cerita bahagia saat seseorang mendapatkan kesembuhan.

Dalam cerita-cerita inilah tersimpan pelajaran hidup yang mahal. Bagi sang dokter sendiri sebagai bahan refleksi, juga bagi pasien lain sebagai sumber motivasi.

Dokter bisa diibaratkan sebagai penyambung lidah pasien. Cerita nyata tentang kesabaran, optimisme dan harapan seorang pasien yang akhirnya berbuah kesembuhan, tersampaikan kepada pasien lain melalui lidah sang dokter. Melalui lisannya seorang dokter ”menyembuhkan” rasa takut pasien dengan cerita-cerita yang membangkitkan harapan.

Bukankah itu pula yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat ini? Cerita-cerita yang menegaskan bahwa harapan itu selalu ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar